Tuhan mendesain kehidupan secara harmonis. Makhluk
yang satu dengan makhluk yang lain saling memberi dan menerima manfaat.
Demikian pula halnya dengan benda yang satu dengan benda yang lain.
Mari kita perhatikan! Manusia memerlukan oksigen dan membuang
karbondioksida, sementara tanaman membutuhkan karbondioksida untuk
proses fotosintesa dan mengeluarkan oksigen. Lebah membutuhkan zat-zat
makanan dari bunga, sedang tanaman membutuhkan lebah untuk proses
penyerbukan.
Manusia juga mengambil manfaat dari hewan dan tanaman berupa bahan
makanan dan berbagai kebutuhan lainnya, sementara tanaman serta hewan
memerlukan pemeliharaan, perawatan, pelestarian dan penjagaan
keseimbangannya oleh manusia. Demikian pula hubungan antar manusia
sendiri, tidak bisa terlepas dari dinamika untuk saling memberi dan
menerima manfaat.
Sayangnya, manusia sendiri kerap merusak harmoni tersebut. Manusia
malah saling memberi mudharat dan saling menzhalimi. Inilah sebabnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan risalah-Nya dan menghadirkan
orang-orang Mukmin sebagai pengusung risalah tersebut. Tujuannya untuk
menyuburkan harmoni dengan banyak berbuat kebaikan dan memberi manfaat,
baik kepada sesama manusia maupun kepada alam semesta.
Membahagiakan
Jiwa-jiwa yang fitrahnya hidup akan merasa bahagia apabila mampu
memberi manfaat untuk orang lain. Sebaliknya, jiwa yang fitrahnya mati
dan tertutup justru merasa bahagia jika melihat kesusahan dan
penderitaan orang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW)
bersabda:
(رواه أحمد) إذا سرّتك حسنتك وساءتك سيئتك فأنت مؤمن
“Jika kebaikanmu menyenangkanmu dan kejahatanmu menyusahkanmu, maka kamu adalah seorang mukmin.” (Riwayat Ahmad)
Para sahabat yang pernah hidup bersama Rasulullah SAW merupakan
orang-orang yang sangat suka memberi manfaat kepada orang lain. Sebagai
contoh, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu (RA) dan beberapa
sahabat lainnya yang ketika mendapatkan harta langsung didistribusikan
lagi kepada orang lain.
Diriwayatkan bahwa ketika mendapat kiriman harta tersebut, Umar
langsung memanggil salah seorang pembantunya dan memerintahkan agar
harta tersebut dikirimkan kepada Abu Ubaidah bin Jarrah RA. Umar juga
meminta pembantunya agar menunggu sejenak di rumah Abu Ubaidah untuk
memperhatikan apa yang akan ia lakukan dengan harta tersebut. Tampaknya,
Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya.
Ketika pembantu itu sampai di rumah Abu Ubaidah, ia menyampaikan,
“Amirul Mukminin mengirimkan harta ini kepada Anda untuk dipergunakan
sesuai kebutuhan yang Anda kehendaki.”
Kemudian Abu Ubaidah memanggil pembantunya. Lalu mereka mulai
membagi-bagikan harta pemberian Umar itu kepada para fakir miskin hingga
seluruh harta tersebut habis.
Pembantu Umar pulang dan menyampaikan apa yang telah ia lihat. Umar
kemudian kembali memberi pembantu itu uang sebesar 400 dirham untuk
diserahkan kepada Muadz bin Jabal RA. Sama seperti sebelumnya, Umar
meminta pembantunya untuk memperhatikan Muadz.
Ternyata Muadz pun memanggil hamba sahayanya untuk membagi-bagikan
harta tersebut kepada fakir miskin hingga habis. Bahkan, ketika istri
Muadz melihat dari dalam rumah dan berkata kepada suaminya, “Demi Allah,
aku juga termasuk orang miskin,” Muadz hanya menjawab, “Ambillah dua
dirham saja.”
Umar kemudian menyuruh lagi mengirimkan harta kepada Saad bin Abi
Waqqas RA. Ternyata, Saad pun melakukan hal yang sama. Pembantu Umar itu
kembali pulang dan melaporkan semua yang ia lihat.
Mendengar sikap mereka, Umar menangis dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji syukur bagi Allah.”
Begitulah sikap dan perilaku para sahabat Rasulullah SAW dalam
mendayagunakan karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Hidup mereka
selalu ingin digunakan untuk memberi manfaat bagi manusia yang lain
walaupun sebenarnya diri mereka sendiri sangat membutuhkan.
Dicintai Manusia
Orang yang mampu memberi manfaat kepada orang lain akan dicintai oleh
orang yang mendapatkan manfaat darinya. Bahkan, orang lain yang tidak
mendapatkan manfaat pun akan mengagumi dan menghormatinya.
Contohnya, para pahlawan Islam. Walaupun jasad mereka telah lama
hancur, tetapi penghormatan kepada mereka tetap abadi. Lihatlah Syaikh
Yusuf al-Makkassari. Ia seorang ulama pejuang abad 17 yang berjasa
menyebarkan Islam dan menanamkan semangat perjuangan melawan penjajah
Belanda.
Sikapnya yang tegas menentang bangsa penjajah menjadikan Yusuf harus
dijauhkan dari pengikutnya. Tahun 1683, Yusuf ditahan selama satu tahun
di Cirebon, Jawa Barat, kemudian di Batavia (Jakarta), dan akhirnya
dibuang ke Thailand.
Namun, berada di tanah buangan tak meyurutkan semangat Yusuf untuk
berdakwah dan menulis kitab. Di Thailand, Yusuf dalam waktu singkat
berhasil meraih simpati masyarakat. Inilah yang menyebabkan Belanda,
pada tahun 1693, membuang Yusuf ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Di negeri yang baru itu, Yusuf kembali menyampaikan dakwahnya, sehingga berkembanglah Islam di negeri tersebut.
Syaikh Yusuf wafat pada tahun 1699 di usia 72 tahun dan jenazahnya
dimakamkan di Cape Town. Rakyat Afrika Selatan menjadikan beliau sebagai
guru, pemimpin, dan pahlawan mereka. Ini tidak lain karena kiprah
kebajikan yang beliau tanam, sehingga dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat luas.
Sungguh benar apa yang disampaikan oleh Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu
sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu
sendiri …” (Al-Isra’ [17]: 7)
Mendapat Balasan
Dalam kehidupan sosial, kita selalu mendapati fakta bahwa setiap
orang yang berbuat kebaikan akan mendapatkan imbalan dari kebaikannya.
Imbalan itu bisa dalam bentuk uang, penghargaan, apresiasi, dukungan,
dan sebagainya.
Sebaliknya orang-orang yang membuat kerusakan serta merugikan orang
lain akan mendapatkan balasan yang setimpal. Balasan itu bisa dalam
bentuk hukuman, kecaman, kutukan, kebencian, dijauhi, dan sebagainya.
Begitu pula bila perbuatan itu dikembalikan kepada Allah SWT, ia akan
mendapatkan balasan. Firman Allah Allah Subhanahu wa Ta’ala :
(٧) فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ
(٨) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya
pula.” (al-Zalzalah [99]: 7-8)
Belakangan, berbagai penelitian menunjukkan bahwa memberi manfaat
kepada orang lain merupakan sebuah kekuatan yang mampu mengantarkan
seseorang meraih kesuksesan. Deepak Chopra dalam 7 Spiritual Law of
Success sampai mencantumkan “Law of Giving” sebagai hukum kedua agar
seseorang meraih kesuksesan.
Bagi kita hal itu tidaklah mengejutkan. Sebab, Rasulullah SAW sendiri
telah jauh-jauh hari mengungkapkan hukum tersebut, di mana ia merupakan
fitrah dan sunnah Allah SWT di muka bumi. Sabda beliau:
فَطُوْبَى لِمَنْ جَعَلَ اللهُ مَفَاتِيْحَ الْخَيْرِ بِيَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللهُ مَفَاتِيْحَ الشَّرِّ بِيَدَيْهِ
“Maka beruntunglah bagi orang yang Allah SWT menjadikan kunci-kunci
kebaikan lewat kedua tangannya, dan celaka bagi orang yang Allah SWT
menjadikan kunci-kunci kejahatan lewat dua tangannya,” (Riwayat Sunan
Ibnu Majah)
Maka jika kita mampu memberi manfaat, kita pasti akan memperoleh
manfaat, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, perbanyaklah
memberi manfaat. Memberi salam dan doa, memberi senyum, memberi
pertolongan, memberi harta, dan sebagainya. Berbuat baiklah
sebanyak-banyaknya karena Allah SWT berfirman:
(٧٧) وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al-Qashas
[28]: 77)*
---Share--